Cerpen: Monster di Kepalaku

Posted on

Majalah CamarArtikel Unik mengenai Cerpen: Monster di Kepalaku yuk kita simak cerpen unik ini.

Cerpen Monster di Kepalaku

JakartaNamanya Boutros, usianya sembilan belas tahun. Keponakanku itu baru pindah ke rumah kostku kurang lebih sebulan yang lalu. Ia memutuskan tidak kuliah. Merantau ke tanah Jawa, mengais peruntungan. Mencari singgasana jabatan, sesuai impiannya. Berbekal hanya ijazah sekolah menengah atas di tanah penuh persaingan ini, seolah memercayai rupiah akan jatuh dari langit. Aku menggeleng. Sebulan yang lalu, keadaannya masih sama; potongan rambut gaya bebas, mata sayu dan pakaian seadanya. Kutanya ia, apakah bertemu lapangan yang bersedia berbagi rerumputan hijau padanya.

Ia nyengir lebar. Sederetan giginya yang hitam dan berlubang terlihat jelas. Boutros menjawab, ia mencipta lapangannya sendiri. Kukira ia berpikir menjadi pengusaha, tapi kutampik ide yang melintas itu. Modal darimana? Tawa membahana Boutros melesapkan lamunanku, ia jawab; tukang anggur. Lalu, melangkah ke dalam kamar. Tenggelam dalam kegemaran barunya; makan-tidur-menonton-mencontrengi koran-makan-tidur-menonton-mencontrengi koran.

Itu hari pertama, ketika aku mendengus kesal meratapi kesehariannya. Lalu, memasuki hari ketiga puluh, Boutros mulai berhenti mencontrengi kolom lowongan di lembar koran yang seolah menjadi koleksinya sehari-hari. Boutros berubah, ia kerap kali duduk di pojokan kamar, kadang kali terlungkup di bawah tempat tidur yang gelap. Berteriak dengan histeris. Tiap pertengahan malam.

“Ada monster. Monster! Ada monster, monster,” pekiknya keras. Suaranya terdengar begitu jelas, melengking membelah sunyi malam. Menganggu tubuh malam yang tengah bercinta dengan sepi. Mengusik purnama yang sedang menyetubuhi hening. Aku terbangun dengan nyawa yang masih separuh. Katanya, ada monster.

*** Intensitas teriakan Boutros semakin sering melengking tiap hari. Awalnya hanya di pertengahan malam, lalu terdengar di sepinya siang. Semakin lama, tidak kenal waktu. Ketika fajar bergerak menguasai cakrawala, teriakan Boutros mengiringinya, lebih awal dibanding kokok ayam. Siang menepi, Boutros semakin histeris di kamarnya. Senja mewarnai langit, Boutros menangis sambil berteriak, ia bersembunyi di bawah tempat tidurnya, katanya untuk melindungi dirinya dari serangan monster. Malam datang berkunjung, teriakan itu tak berhenti. Apakah Boutros tidak pernah tidur, mengapa jua letih tidak kunjung menghampirinya, pikirku.

Boutros mungkin lupa, ada yang tidur, ada yang beraktivitas, ada yang bermain, dan tentu saja ada yang hidup di sekelilingnya. Tetangga-tetangga mulai mengeluh, bertanya, apakah aku membawa lari pasien sakit jiwa dari rumah sakit. “Bou, aku tinggal di sini bertahun-tahun. Tidak ada monster. Lagipula, kau bilang monster? Konyol sekali. Kau hanya mengganggu tetangga, kau dikira mengidap penyakit sinting. Berhenti bertingkah gila karena kau tidak dapat kerja,” ujarku suatu hari.

Boutros menggigiti jari jemarinya. Terdengar gemeletuk giginya karena ketakutan. Ia menyembulkan kepalanya dari kolong tempat tidur. Matanya sayu dan memerah. Rambutnya yang acak-acakkan kini menjadi sarang laba-laba. Tubuhnya dipenuhi debu-debu dan noda hitam. Pakaiannya berlubang di sana-sini. Sudah seminggu, keponakanku satu-satunya itu seolah memiliki kelainan.

“Kau tak tahu, Galih! Monster itu menerorku tiap hari. Monster itu mengajakku berperang! Berlomba! Berkompetisi! Dan kau tahu apa? Aku selalu kalah. Dan … dan …”

Boutros keluar dari kolong tempat tidur, memeluk kedua kakinya kuat-kuat. Matanya menyapu ke tiap sudut ruang, seolah memastikan jika ‘si monster’ yang dipercayai Boutros, tidak ada di sana. Kukira setelah Boutros menyadari ruang kamarnya benar-benar kosong, tidak ada monster-monster yang ia bilang itu, Boutros akan sedikit lebih tenang. Tapi, aku salah. Boutros justru berteriak. Suaranya berat, keras, kuat. Ada nada ketakutan dan ketegangan yang terselip di antara teriakannya. Aku semakin bosan dengan permainan gila ala Boutros.

“Dan apa?” tanyaku hendak membuka pintu kamar dan keluar. Tapi, tiba-tiba Boutros bangkit. Kuku jarinya yang panjang dan kotor, mencengkeram pundakku kuat-kuat. Membuatku terlonjak kaget, lantas mendorongnya kuat hingga menghantam dinding.

“Dan, monster itu siap menerkamku. Memperbudakku, menuruti perintahnya. Aku kalah, kalah, kalah,” teriak Boutros. Sekali lagi, ia bangkit dari atas lantai. Tidak menerjangku, namun mencakar dinding kamar dengan kuku jarinya yang panjang dan tajam. Cat putih di dinding kamar mengelupas, menimbulkan bunyi kecil yang tidak enak didengar telinga.

“Serah kau. Sinting!” Aku memaki sambil berlalu dan membanting pintu. Akan kupertimbangkan solusi untuk mengirimnya pulang kembali ke kampungnya, di tanah Sumatra. Tapi tidak mungkin Boutros bisa pulang dalam keadaan seperti itu. Mungkin akan kupikirkan cara lain mengatasinya.

Saat kuputuskan untuk mendinginkan kepala sejenak dengan menyeduh daun teh, samar-samar kudengar ceracau Boutros. Suaranya tidak sekencang yang tadi. Tapi tetap saja mengundang hujat dan olok tetangga yang lewat. Aku ingin segera menutup telinga dan pergi keluar rumah, tapi ceracau Boutros malah semakin keras. Berulang. Memanggil namanya pula.

“Galih, Galih. Monster itu ada di sini. Ada monster di sini! Galih.”

Monster sialan, maki Galih dalam hatinya, tak tahan dengan racauan Boutros yang semakin hari semakin tidak masuk akal.

*** Tetangga sudah mulai membicarakan Boutros. Tidak mengherankan. Sepanjang tujuh hari penuh, Boutros berteriak hal yang sama. Tentang sesosok monster yang mendelik padanya tiap kali ia bergerak barang sedikit saja. Monster yang berniat menghujamnya, merajamnya, mengebirinya. Siapa yang bisa memercayainya jika seisi rumah kost tidak kutemukan monster. Teriakkan yang mengganggu itu akhirnya mendatangkan ibu kost dan kepala rukun tetangga untuk menemuinya di sebuah sore. Membahas perkara monster.

“Pernah Nak Galih bertanya pada Boutros, bagaimana sosok si monster yang ditakutinya?” tanya Pak RT sambil meneguk kopi panas yang kubuatkan. Busa gelembung kecil yang mengambang di permukaan cangkir kopi panas itu menempel pada kumis tebal Pak RT.

“Pernah. Boutros bilang, monster itu bermata elang, bertubuh besar sekali, rambutnya begitu hitam dan acak-acakkan. Sosoknya seperti manusia biasa, tapi bisa berubah menjadi serigala tanpa hati yang menerkam mangsanya untuk perutnya yang lapar.”

“Boutros bilang melihatnya di rumah kost ini, Gal?” tanya Ibu Kost. Kudapati ada tatap tidak percaya di kedua manik matanya yang kurasa, mengedip lebih sering dibanding orang yang pernah dikenalnya.

“Ya, Boutros berkali-kali berteriak ketakutan, bilang jika monster itu meneroronya, mengancamnya, hendak membunuhnya. Apapun itu yang berhasil menakutinya. Dan ia bilang, ada di sini. Di rumah kost ini, di dekatnya. Kemana pun ia pergi.” Hening sesaat. Tatap tidak percaya masih melekat di mata Ibu Kost. Tentu saja, bagaimana ibu itu bisa percaya. Rumah-rumah kost yang ia punyai lebih dari sepuluh tahun itu dihuni oleh sesosok monster? Aku sendiri yang sudah tinggal dua tahun di sini, tak pernah menemui makhluk khayalan seperti itu. Pak RT menggelengkan kepalanya, sesekali ia menekan kening kepalanya yang mengerut. Bisa kutebak apa yang sedang ia pikirkan.

“Nak Galih tidak mencoba … ehm, membawanya ke dokter? Psikiater, maksud saya,” saran Pak RT ragu-ragu, takut menyinggungku.

“Pernah. Tapi, Boutros bilang sebaiknya jangan. Sebab monster itu bisa membunuh siapa saja yang mengusiknya. Dan ia kerap kali memohon untuk tidak dibawa kemana-mana. Saya tahu sekali, teriakkan Boutros menggangu warga sekitar. Mungkin, saya akan membicarakannya lagi dengan Boutros lebih jauh,” jelasku berusaha mengakhiri diskusi konyol ini.

“Ia tidak bisa diajak berbicara, Gal. Kau harus menyumpal mulutnya tiap kali ia berteriak. Atau,” sambung Ibu Kost dengan nada menggantung. Pak RT memaku pandangannya pada Ibu Kost. Aku sendiri diburu rasa penasaran. “Kau harus bunuh monster itu.”

Aku diam. Kulihat Pak RT mengangguk. Membunuh monster itu, sama saja percaya jika monster itu benar-benar ada. Lagipula, sosoknya saja tak pernah kutemui, bagaimana cara membunuhnya? Monster ini sudah benar-benar menjadi prahara. Tak hanya Boutros yang percaya jika sosoknya benar-benar ada, tapi Ibu Kost dan Pak RT juga. Aku bisa gila.

***

Dua jam berlalu sejak kunjungan Pak RT dan Ibu Kost tadi sore. Dua jam juga, waktu yang ia habiskan untuk berperan menjadi psikolog dadakkan. Tiap kali Boutros berteriak, aku membalasnya dengan teriakkan juga. Bahkan, kulempar segumpal roti ke mulutnya. Boutros mengoyaknya layaknya binatang buas. Matanya awas menatapku. Tapi binar ketakutan itu tak redup dari matanya. Aku semakin heran, Boutros menampakkan diri seolah benar-benar ada monster yang mengejarnya dan siap membunuhnya malam itu juga. Sedetik, aku bergidik ngeri.

“Bou, kau tahu siapa yang tadi datang kemari? Pak RT dan Bu Kost, kalau kau terus berperilaku gila, bukan tidak mungkin warga di sini akan menggila dan mengusirmu paksa,” bentakku tak sabar.

Boutros mendelik padaku. Tapi saat itu juga, tatapnya melunak. Ia menggigiti lagi kuku-kuku jarinya hingga luka-luka. Kubiarkan beberapa menit. Lalu, Boutros mengerang keras. Sempurna mengejutkanku. Ia merangkak dengan beringas dari kolong tempat tidur hanya untuk membenturkan kepalanya berkali-kali ke dinding kamar. Aku mencoba menahannya, tak kukira jika berusaha menenangkannya justru membuat Boutros semakin tak bisa dikontrol.

Lenganku yang menahan dadanya, ditampiknya dengan satu sentakkan kuat. Cukup kuat bagiku yang tidak siap menerima tenaga Boutros, membuatku terguling ke atas lantai. Sedangkan Boutros, kedua tangannya kini menarik-narik rambutnya sendiri. Memukul wajahnya sendiri, hingga darah segar mengucur dari ujung bibir dan lubang hidungnya.

“Bou, akan kubawa kau ke psikiater. Sekarang juga!”

“Monster! Monster itu, monster!”

“Persetan dengan monster,” makiku hendak membuka pintu kamar, tapi Boutros menahanku sekuat tenaga. Ia terduduk di atas lantai, memegangi kedua lututku erat-erat.

“Monster itu bilang padaku, dia akan menghabisiku malam ini. Aku sudah kalah melawannya. Monster itu punya rencana, rencana yang berdarah.”

Kutendang rahang Boutros, membuatnya meringis kesakitan dan merenggangkan cengkeramannya. Ia mengaduh di atas lantai. Kulihat arloji di pergelangan tanganku, pukul delapan malam. Cukup malam untuk menemui seorang psikiater yang lokasinya lumayan jauh dari rumah. Aku pun mengurung niatku. Mungkin besok pagi. Kuyakin kalau Boutros sudah memiliki kesalahan dengan jiwanya. Ia harus disembuhkan. Dan, dijauhkan. Dari monster-monster khayalannya itu.

***

Srrrk…hrssskkk… Aku mengerjap-ngerjapkan sepasang mataku. Sebuah suara gemerisik kantung plastik mengganggu lelapku. Berkali-kali kutepis suara itu, mungkin suara gesekkan dahan pohon atau rerumputan. Tapi, suara itu semakin jelas. Bahkan, diikuti oleh suara janggal lainnya, seperti suara orang tengah mencangkul tanah. Aku beranjak dari atas kasur, mencari sakelar lampu. Terang cahaya lampu segera masuk ke retina mataku, membuatku harus menyipitkan mata.

Rasanya suara berisik itu datang dari halaman belakang rumah, batinku. Apakah aku harus mengeceknya? Mungkin saja kucing yang tengah menggali lubang untuk kotorannya. Aku pun memutar daun pintu, tapi tiba-tiba terdengar suara air yang jatuh ke genteng rumah kost. Hujan turun. Dan, suara berisik itu samar-samar menghilang digantikan irama hujan yang menderas. Kutengok jam weker yang tergeletak di samping bantal, pukul setengah satu pagi. Aku baru menyadari, Boutros tidak berteriak malam ini. Tumben sekali, pikirku. Atau Boutros sudah menang melawan monster khayalannya itu? Baguslah kalau begitu.

Kantuk mulai menyerangku. Kuputuskan untuk mematikan lampu dan kembali tidur. Tak ada yang perlu kukhawatirkan. Suara ganjil tadi mungkin gerimis hujan yang mengenai seng atau rerumputan.

***

“Monster. Monster. Monster, Galih! Tolong aku, Galih! Monster itu sudah berhasil melumatku. Aku kalah. Habislah aku. Monster itu, monster, Galih!”

Teriakkan Boutros di pagi buta sontak membangunkanku dalam sekejap mata. Aku hampir lompat dari tempat tidur ketika teriakkan Boutros diiringi dengan gedoran di pintu kamarku. Panik seketika menyergapku, Boutros tak pernah keluar dari kolong gelap tempat tidurnya selama ini. Aku menegakkan tubuhku, cepat-cepat membuka gagang pintu. Ingin segera tahu apa yang terjadi pada Boutros, bahkan lampu pun tidak kunyalakan. Kubiarkan gelap menyisa di ruang kamarku, matahari pagi masih bergeliat di tempatnya, belum juga berdiri dari singgasananya.

“Ada apa,” kataku dengan suara serak khas orang baru bangan tidur.

Aku seperti menelan kembali tanyaku ketika tak kutemukan Boutros di depan kamarku. Cekat menohok kerongkonganku hingga kehilangan kata ketika melihat lantai rumah kost yang putih, ditapaki oleh jejak berdarah. Aku mengikuti jejak kaki berdarah itu. Semakin kuikuti, takut menjalari tubuhku hingga gemetar. Jejak darah itu sedikit kecokelatan, seperti bercampur dengan lumpur. Bersumber dari halaman belakang rumah. Tanah lapang yang ditumbuhi rerumputan pendek itu kini menggembur, seolah habis digali seseorang untuk menguburkan sesuatu. Apa ini yang didengarnya semalam?

Aku mengedarkan pandangan lebih jauh, di tengah tanah yang menggembur itu, teronggok kantung plastik sebesar dirinya. Seperti kantung untuk mayat atau jenazah. Apa ini suara gemerisik plastik yang didengarnya semalam? Bulu kudukku mulai berdiri. Pagi buta yang masih gelap dan berembun, membuat pemandangan didepannya semakin menakutkan. Aku seolah merasakan ada cekam yang merayapi tengkukku. Ada embus angin dibawah telingaku.

Membuatku menggigil. Gigil akan takut yang menebal.

Gundukan tanah di hadapanku membuatku terus menerka-nerka apa yang terkubur dibaliknya. Dan, pertanyaan yang menyesakki dadaku kini; siapa.

“Monster!”

Teriakkan Boutros seperti belati yang menusuk jantungku tiba-tiba. Membuatku meloncat ke dalam rumah. Sedari tadi, aku memang belum melihat Boutros. Aku melangkahkan kaki yang bergetar, dengan langkah yang cukup cepat mengarah ke kamar Boutros yang pintunya terbuka. Begitu kagetnya aku, ketika melihat jejak darah itu berhenti tepat dimana sekarang Boutros meringkuk. Di bawah tempat tidurnya.

Tak hanya itu, mataku menangkap sebilah pisau panjang teronggok di sudut ruang. Pisau panjang yang ujungnya mengilap dan sisinya basah oleh tetes darah yang belum mengering. Aku mual. Kupandangi Boutros dengan tatap takut yang tak pernah kurasakan dalam hidupku. Aku mencoba mencerna semuanya. Perlahan.

“Monster, monster, Galih!”

“Galih, Monster!”

Boutros keluar dari kolong tempat tidurnya, menghampiriku. Ia jongkok di bawah, ia tunjukkan telapak tangannya yang dipenuhi darah. Aku mengamati lamat-lamat tangan penuh darah Boutros itu, tanpa menyentuhnya. Tak ada luka, tak ada irisan, tak ada bekas apapun yang membuat tangan Boutros sampai dilumuri darah sebanyak itu.

“Apakah kau memenangkan pertarungan dengan monster itu, Bou? Kau bunuh monsternya dengan tanganmu hingga ia berdarah?”

Untuk pertama kalinya, sejak Boutros menjadi gila, baru kudengar Boutros tertawa. Tawa yang hambar. Terdengar pahit untukku.

“Ini darah kekalahan, Ghalih. Monster itu sudah berhasil menguasaiku,” ucapnya dengan sangar. Kemudian, kulihat Boutros menjatuhkan posisi jongkoknya dengan duduk. Ia mengatupkan wajahnya dengan kedua tangannya dan mulai menangis. Di sela isakkannya yang memilukan, ia masih meracau akan monster. Aku memundurkan langkah perlahan, berniat menyingkir sejauh mungkin dari Boutros. Sampai suara berat lelaki terdengar memanggil namaku dari luar pagar rumah, aku segera beranjak dari kamar Boutros.

Tiga lelaki berseragam cokelat dan bertubuh tegap, menyerahkan secarik surat berisi keterangan penangkapan padaku.

Aku mematung di balik pagar rumah. Seorang lelaki betubuh tegap menjelaskan perihal kedatangannya.

“Sementara ini, keponakan Anda akan kami tahan atas dasar dugaan pembunuhan, terhadap Bapak Santosa, petugas personalia perusahaan kilang minyak. Sampai saat ini, kami menduga, motif keponakan Anda membunuh Bapak Santosa karena dendam. Ketika kami selidiki, Bapak Santosa mengusir dan mempermalukan keponakan Anda di depan umum ketika keponakkan Anda memaksa melamar kerja. Berbagai bukti, mulai dari sidik jari, para saksi dan tempat kejadian, mengindikasikan dan mengarah pada saudara Boutros Gumilang, keponakan Anda,” jelas Bapak berseragam cokelat yang dua hari lalu meringkus Boutros.

Aku mematung. Persendianku melemas, aku merasa kedua kakiku sebentar lagi akan jatuh lemas. Dua lelaki itu langsung menghambur masuk ke dalam rumah. Satunya lagi berdiri di sampingku, seperti tengah berjaga-jaga.

“Monster, monster. Monster!”

Kudengar teriakkan Boutros lagi. Teriakkan semakin jelas, karena semakin dekat. Seerang lelaki berseragam dan bersuara berat itu, setengah menyeret Boutros. Kedua tangan keponakanku itu diborgol. Tapi mulutnya masih meracau monster. Aku gemetar. Teriakkan Boutros semakin membabi buta di tengah subuh yang menjelang. Tetangga-tetangga, satu persatu berlarian keluar, tidak ingin melewatkan peristiwa menggemparkan yang terjadi langsung di depan mereka.

Mataku mencari-cari satu orang polisi lagi. Tapi, tidak kunjung keluar dari dalam rumah.

“Galih, kau harus percaya padaku, bukan aku yang membunuhnya. Tapi, monster! Si MONSTER!” Boutros menarik ujung kaos kelabu favoritku dengan sekuat tenaga, tapi aku tidak menengok barang sedikitpun padanya. Pandanganku terpaku pada seorang polisi yang keluar dari dalam rumahku membawa plastik bening, berisi barang bukti. Polisi itu memegangnya dengan hati-hati, sebungkus potongan kaki dan tangan yang dipenuhi darah. Dan, samar kudapati sepenggal kepala yang sudah putus dari tubuhnya.

Monster. Monster. Si monster? Nyata?

Tiba-tiba aku bereaksi atas teriakkan Boutros. Kusambar kerah bajunya kuat. Kubalas tatap mata Boutros yang memerah. Polisi sudah bersiap ingin menarikku mundur, tapi aku berusaha menahannya.

“Katakan padaku, siapa monster itu?”

“Aku melihatnya. Monster itu! Aku mendapati sosoknya di sana. Monster itu. Di sana, Galih. Itulah dia, dia!”

Aku melepas cengkeraman tangannya dari kerah baju Boutros. Kuarahkan pandanganku sesuai arah tunjuk Boutros. Aku tertegun. Sebuah kaca jendela yang memantulkan bayangan Boutros sendiri, itu yang Boutros tunjuk.

“Monster, Galih! Ada monster di kepalaku. Di kepalamu. Di kepala orang-orang,” teriak Boutros. Suaranya hilang saat ia sudah diringkus ke dalam mobil abu-abu milik tiga lelaki berseragam cokelat itu.

Aku tertegun beberapa menit. Kemudian tertawa gila selayaknya Boutros lakukan tadi.

“Iya, Boutros. Ada monster juga, di kepalaku. Baru kusadari itu.”

“Monster, monster! Ada monster!” teriakku tiba-tiba, membuat tiap pasang mata tetangga menyinggahiku. Aku tertawa keras.

Bedanya, aku menang melawannya ***

Tentang Penulis:

Veronica Gabriella adalah novelis kelahiran Sumatera Utara yang kesehariannya disibukkan bekerja kantoran sebagai copywriter. Novel young-adult terbarunya berjudul “LESAP” (Falcon Publishing), telah tersedia di seluruh toko buku se-Indonesia. Selain menulis, ia hobi streetfeeding kucing dan anjing jalanan. Intip ceritanya melalui akun Instagram @verooogabriel.

Baca Juga : 

Daftar Segera

Support : BandarQ | AduQ | Domino99 | BandarQ Online | Agen BandarQ | Agen Domino

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *